MACAM-MACAM KEBUDAYAAN JEPANG
Jepang yang mempunyai kebudayaan yang unik
membuat Negara bunga sakura itu banyak di kenal masyarakat dunia salah satunya
Indonesia, kebudayaan jepang yang sampai saat ini masih dilakukan dalam
berbagai kesempatan misalkan perayaan hanami, di karenakan masyarakat jepang
mencintai kebudayaannya sendiri dan mau menjaganya. Orang jepang mau memakai
pakean seberat dan setebal kimono untuk sekedar menghadiri upacara resepsi
pernikahan, sekarang kita tau bagaimana cintanya warga jepang pada
kebudayaannya sendiri. Adakalanya kita perlu mengetahui seperti apa kebudayaan
jepang itu, mungkin dengan mengetahui beberapa kebudayaan jepang kita bisa
sedikit meniru cara melestarikan kebudayaannya, mungkin bisa saja kebudayaan
kita tetap terjaga dan tetap di lakukan seperti kebudayaan jepang, berikut
beberapa contoh kebudayaan jepang:
1. PERAYAAN HANAMI
Hanami (hana wo miru = melihat bunga) atau ohanami
adalah tradisi Jepang dalam menikmati keindahan bunga, khususnya bunga sakura.
Mekarnya bunga sakura merupakan lambang kebahagiaan telah tibanya musim semi.
Selain itu, hanami juga berarti piknik dengan menggelar tikar untuk pesta
makan- makan di bawah pohon sakura.
Rombongan demi rombongan berpiknik menggelar
tikar dan duduk-duduk di bawah pepohonan sakura untuk bergembira bersama, minum
sake, makan makanan khas Jepang, dan lain-lain layaknya pesta kebun. Semuanya
bergembira. Ada kelompok keluarga, ada kelompok perusahaan, organisasi, sekolah
dan lain-lain.
Menurut kisah sejarah, kebiasaan hanami
dipengaruhi oleh raja-raja Cina yang gemar menanam pohon plum di sekitar istana
mereka. Di Jepang para bangsawanpun kemudian mulai menikmati bunga Ume (plum).
Namun pada abad ke-8 atau awalperiode Heian, obyek bunga yang dinikmati
bergeser ke bunga sakura. Dikisahkan pula bahwa Raja Saga di era Jepang dahulu
gemar menyelenggarakan pesta hanami di taman Shinsenendi Kyoto. Para
bangsawanpun menikmati hanami di berbagai istana mereka, dan para petani masa
itu melakukannya dengan mendaki gunung terdekat di awal musim semi untuk
menikmati bunga sakura yang tumbuh disana sambil `tidak lupa membawa bekal
untuk makan siang. Hingga kini hanami menjadi kebiasaan yang mengakar di
seluruh masyarakat Jepang dan telah di terima sebagai salah satu kekhasan
bangsanya. Khusus di daerah Kansai dan Jepang Barat, tempat-tempat unggulan
untuk ber-hanami adalah Arashiyama di Kyoto, Yoshino di Nara, taman disekitar
OsakaCastle dan Taman Shukugawa di Nishinomiya, Prefektur Hyogo.
Waktu bunga sakura bermekaran di pohonnya
berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya, dimulai dari daerah paling
selatan. Tapi rata-rata mekar dari akhir Maret hingga awal April (kecuali di
Okinawa dan Hokkaido). Dengan demikian pesta memandang dan menikmati sakura
juga berlainan waktunya dari satu daerah ke daerah lainnya. Prakiraan
pergerakan mekarnya bunga sakura disebut garis depan bunga sakura
(sakurazensen). Prakiraan ini dikeluarkan oleh direktorat meteorologi dan
berbagai badan yang berurusan dengan cuaca. Saat melakukan hanami di suatu
tempat adalah ketika semua pohon sakura yang ada di tempat tersebut bunganya
sudah mekar semua.
Namun akhir-akhir ini tradisi hanami membawa
dampak negatif. Banyak orang Jepang yang mabuk dan angka kecelakaan pun
meningkat. Taman pun menjadi gunung sampah. Di saat hanami kelihatannya
kesadaran tertib buang sampah menjadi luntur. Sayang sekali. Tapi di sisi lain,
hanami seperti sebuah `rehat` singkat dari striknya hidup orang-orang Jepang.
Hanami juga merupakan pembelajaran berharga bagi anak tentang alam dan tradisi.
2.
OSAKA
Osaka Castle di kota Osaka termasuk salah satu
tempat favorit untuk ber-hanami. Para peneliti memperkirakan bahwa wilayah yang
kini dikenal dengan nama kota Osaka telah dihuni manusia sejak sepuluh ribu
tahun lalu. Sekitar abad ke-5, kebudayaan Timur telah diperkenalkan ke wilayah
Jepang melalui Peninsula Korea lalu Osaka yang dikemudian hari menjadi pusat
kebudayaan dan politik Jepang.
Pada abad ke-7, ibukota pertama Jepang
didirikan di Osaka dan ia menjadi pintu gerbang kebudayaan dan perdagangan
utama Jepang. Kemudian suatu saat sekitar akhir abad ke-12 kekuatan politik
disana jatuh ketangan kelas pendekar perang dan Jepang mulai memasuki masa perselisihan
sipil dan intrik muncul dimana-mana hingga menumbuhkan ketidakpastian masa
depan rakyatnya.
Pada tahun 1583, Toyotomi Hideyoshi seorang
penguasa dimasanya berhasil menyatukan Jepang dari masa kelam ini dan kemudian
memilih Osaka sebagai tempat tinggalnya. Ia membangun Osaka menjadi pusat
politik serta ekonomi Jepang. Puri Osaka atau Osaka Castle merupakan salah satu
saksi bisu kemegahan masa itu dan menjadi bangunan terindah yang didirikan oleh
Toyotomi Hideyoshi. Puri ini dikelilingi taman yang penuh pohon Cherry, Plum
dan Sakura serta berbunga indah saat musim semi. Bunga yang menjadi kebanggaan
masyarakat setempat serta mengundang kekaguman para pengunjung saat ber-hanami.
Di abad ke-17 walalupun pusat kekuatan politik
telah bergeser ke Tokyo, Osaka terus berlanjut memainkan peran yang penting
dalam mengatur perekonomian dan distribusi barang di Jepang. Di masa ini pula
kebudayaan kota berkembang pesat antara lain melalui lahirnya sekolah-sekolah
yang dikelola pihak swasta dengan sistim pendidikan yang berbeda dari yang
dilaksanakan oleh pemerintah dimasa itu. Melalui cara ini, cara berpikir
terbuka dan semangat berwirausaha telah dipupuk dan menjadikan Osaka dikemudian
hari menjadi suatu kota metropolis yang modern serta menjadi kota terbesar ketiga
di Jepang.
Pada masa lalu, Osaka memang pernah menjadi
pusat perdagangan Jepang. Kini, seiring dengan kemajuan jaman, sejak akhir
tahun 1990an banyak perusahaan-perusahaan terkemuka memindahkan kantor pusat
mereka ke Tokyo. Namun beberapa tetap mempertahankan tradisi berkantor pusat di
Osaka.
3.
SAMURAI
Istilah samurai (侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang
yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini
diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula
istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi.
Istilah bushi (武 士 ) yang berarti “orang yang
dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi (続 日 本 紀 ), pada bagian catatan itu tertulis
“secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian
berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12
(zaman Kamakura).
Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan
awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian
berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”.
Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang,
terdapat kelompok samurai yang tidak terikat/mengabdi kepada seorang
pemimpin/atasan yang dikenal dengan rōnin (浪 人 ). Rōnin ini sudah ada sejak zaman
Muromachi (1392). istilah rōnin digunakan bagi samurai tak bertuan pada zaman
Edo (1603 – 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang berkepanjangan sehingga
banyak samurai yang kehilangan tuannya. kehidupan seorang rōnin bagaikan ombak
dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang samurai
menjadi rōnin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya untuk
menjalani hidup sebagai rōnin. Adapula rōnin yang berasal dari garis keturunan,
anak seorang rōnin secara otomatis akan menjadi rōnin. Eksistensi rōnin makin
bertambah jumlahnya diawali berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang
mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo yang mengakibatkan para samurai
kehilangan majikannya.
Dalam catatan sejarah militer di Jepang,
terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan
militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan memberlakukan wajib
militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan
tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan,
kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi
peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter harus
membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi
peraturan tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani
wajib pajak yang cukup berat sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini.
Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut dikenal
dengan sakimori (防 人 ) yang secara harfiah berarti “pembela”,
namun pasukan ini tidak ada hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman
berikutnya.
Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan
dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama
150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang
dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas
adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di
daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan tanah
yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan
keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik
di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi)
mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian
melahirkan kelas militer yang dikenal dengan samurai.
Kelompok toryo (panglima perang) dibawah
pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di Jepang bagian
Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah
pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini,
yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo yang
dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan
politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar
Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas
politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan
fungsi politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei (僧 兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi
sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat
sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti
pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira
dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam
pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana
menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra
terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira,
yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen
(1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang
menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama
kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana. Taira pun
mengangkat dirinya sebagai kuge (公 家 – bangsawan kerajaan), sekaligus
memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan
penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan
konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat
dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya
mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di
Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada
tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut
Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan
berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai
falsafah dan tuntunan hidup mereka.
Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang
Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan
susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi
serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok
pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi
taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak
mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan
taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru
(dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan
armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang
menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).
Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa
Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan
kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai
akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai
senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata
utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai
dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan
Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara
Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).
Pertentangan ini memberikan dampak terhadap
semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan
semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga
tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan
kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah
negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis
panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 –
1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau
kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan
tuan-tuan tanah daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional”
di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda
Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.
Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari
wilayah Owari dan seorang ahli strategi militer, mulai menghancurkan
musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat
perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara
yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan
Bakufu Muromachi dan istana kaisar. Strategi terpenting yang dijalankannya
adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang
portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama
itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara
leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal
dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan
memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat
menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah
dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga
membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan
Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan
sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya
sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada
tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.
Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut
setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada
tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di
Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan
Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei
(peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara
strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para
petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata.
Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah
tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan
mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga
militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi
menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan
1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan
awal kehancuran bakufu Muromachi.
Kecenderungan terdapat perilaku bawahan
terhadap atasan yang dikenal dengan istilah gekokujō ini telah muncul tatkala
Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat
posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini
menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi
melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada tahun
1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu
Edo pada tahun 1603.
KEMATIAN SAMURAI
Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi
seorang samurai daripada tindakan pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian
dianggap suatu hal yang sangat penting bagi seorang samurai. Ajaran yang
menerangkan mengenai “mati yang terbaik” telah ditulis di dalam sebuah buku,
Hagakure pada kurun ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai berangkat ke
medan peperangan, Hagakure – buku tersebut dikatakan telah membawa semangat dan
panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat dinafikan,
wujudnya satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah
disalahtafsirkan oleh para samurai kerana kekaburan maksud kalimatnya. Malah,
contoh utama yang boleh dipaparkan di sini terletak di Bab Pendahuluan buku
Hagakure itu sendiri: “Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba
kepada kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang pantas untuk kematian.”
Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi
ayat-ayat yang paling popular dalam kebanyakan buku dan majalah mengenai
samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang. Petikan di bawah merupakan
antara isi kandungan buku Hagakure: “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan
perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya
tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang
pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai
(Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam,
seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat
kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan
dan dia akan mencapai apa yang dihajatinya.”
Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para
samurai. Kematian Nobufusa dan Taira Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini.
Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jeneral Taira yang paling agung, telah
membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan pada saat-saat akhir ketika
Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori
telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang
diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya
Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati perjuangan
Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat
keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan bincangkan
mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan Seppuku.
CARA KEMATIAN
1. Mati di medan pertempuran
Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang
menganggap mati syahid dalam peperangan untuk membela Islam sebagai satu
kemuliaan, begitu juga dengan para samurai. Mati dibunuh di medan perang adalah
lebih baik daripada hidup tetapi ditangkap oleh musuh. Salah seorang samurai
yang terkenal, Uesugi Kenshin sempat meninggalkan pesanan kepada para
pengikutnya sebelum mati:
“Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk
panah musuh tidak akan mendapat perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang
tidak mau mati karena dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di tangan
pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.”
Tidak ada samurai yang pernah terhindar
daripada bayangan maut semasa di medan perang. Kebanyakan nama besar dalam
dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah Uesugi Kenshin terbunuh di dalam
pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan,
Uesugi Tomosada… sementara yang lain telah mengambil keputusan untuk membunuh
diri selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto Yorimasa
(kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16). Kebiasaanya,
seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.
2. Seppuku
Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya,
sebagai suatu cara membunuh diri. Merupakan unsur yang paling popular dalam
mitos samurai. Bagi seorang samurai, membunuh diri adalah lebih baik daripada
membiarkan ditangkap, karena sekiranya samurai itu masih hidup dan ditangkap,
ia dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan raja. Di Barat, cara membunuh
diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan Membunuh Diri dengan membelah
perut – tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para samurai), tidak diketahui
kapan istilah itu digunakan. Walau bagaimana pun, seperti yang tercatat dalam
sejarah, Seppuku ini mula dilakukan oleh Minamoto Tametomo dan Minamoto
Yorisama pada akhir kurun ke-12. Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih
cara ini karena lebih mudah melakukan dibandingkan membunuh diri dengan cara
memenggal kepala sendiri. Ada juga yang mengatakan bahawa dengan melakukan
seppuku, iaitu dengan membelah perut adalah merupakan cara yang paling jujur
untuk mati. Ini karena, dia sebelum mati akan merasai kesakitan yang amat
sangat dan ini mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan orang. Oleh karena
itu, mati dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu keberanian dan kehormatan.
Pada zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai
salah satu upacara terhormat dalam kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami
putih akan dikeluarkan, kemudian satu bantal yang besar akan diletakkan di
atasnya . Para saksi pembunuhan akan berdiri di sebelah samurai tersebut
(pelaku seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian (sebagai satu nilai
penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani seppuku, memakai
baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal tersebut. Di
sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai tersebut, seorang
kaishakunin, atau `kedua’ akan turut berlutut. Kaishakunin atau `Kedua’ adalah
sahabat akrab kepada samurai yang telah meninggal kerana melakukan seppuku.
Karena perbuatan ini dianggap tidak senonoh dan amat memalukan (tabu), maka
hanya orang-orang yang layak dan terpilih (berkesanggupan untuk melakukan tugas
membantu) saja yang akan menjadi kaishakunin.
Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada
sebilah pisau bersarung yang terletak di dalam talam. Apabila samurai tersebut
merasakan dia telah siap, samurai tersebut akan menanggalkan kimononya dan
membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan sebelah
tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau tersebut dan
meletakkannya ke tepi. Apabila dia telah bersedia, dia akan mengarahkan mata
pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan menggoreskannya ke kanan. Selepas itu,
pisau tersebut akan diputar dalam keadaan masih terbenam di dalam perut dan
ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan
ini, maka ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala
samurai tersebut setelah melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada
wajahnya.
Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali
sebagai jumonji (crosswise), sayatan bintang, dan seandainya samurai (pelaku
seppuku) dapat melakukannya, maka seppuku yang dilakukannya dianggap amat
bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu,
bergantung kepada fungsi atau sebab melakukannya:
Junshi: Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada
raja, apabila raja tersebut meninggal.
Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena
dianggap sia-sia dan merugikan karena negara akan banyak kehilangan perwira
yang setia. Semasa kematian Maharaja Meiji pada 1912, Jeneral Nogi Maresue
telah melakukan junshi.
Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi.
Tidak begitu popular, melibatkan seseorang yang
melakukan seppuku sebagai tanda peringatan kepada seseorang raja apabila segala
bentuk musyawarah (persuasion) gagal. Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553)
telah melakukan kanshi untuk mengubah prinsip dan pemikiran Oda Nobunaga.
Sokotsu-shi: Seseorang
samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda menebus kesalahannya.
Ini merupakan sebab yang paling popular dalam
melakukan seppuku. Antara samurai yang melakukan sokotsu-shi ini termasuklah
Jeneral Takeda, Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561), karena telah membuat
satu rencana yang akhirnya meletakkan posisi rajanya di dalam bahaya.
4. SHOGUN
Shogun (将 軍Shō gun) adalah istilah bahasa Jepang yang
berarti jenderal. Dalam konteks sejarah Jepang, bila
disebut pejabat shogun maka yang dimaksudkan
adalahSei-i Taishōgun (征 夷 大 将 軍 ) yang berarti Panglima Tertinggi Pasukan
Ekspedisi melawan Orang Biadab (istilah “Taishōgun” berarti panglima angkatan
bersenjata). Sei-i Taishōgun merupakan salah satu jabatan jenderal yang dibuat
di luar sistem Taihō Ritsuryō. Jabatan Sei-i Taishōgun dihapus sejak Restorasi
Meiji. Walaupun demikian, dalam bahasa Jepang, istilah shōgun yang berarti
jenderal dalam kemiliteran tetap digunakan hingga sekarang.
Sejak zaman Nara hingga zaman Heian, jenderal
yang dikirim untuk menaklukkan wilayah bagian timur Jepang disebut Sei-i
Taishōgun, disingkat shogun. Jabatan yang lebih rendah dari Sei-i Taishōgun
disebut Seiteki Taishōgun (征 狄 大 将 軍 panglima penaklukan orang barbar?) dan
Seisei Taishōgun (征 西 大 将 軍 panglima penaklukan wilayah barat?).
Gelar Sei-i Taishōgun diberikan kepada panglima keshogunan (bakufu) sejak zaman
Kamakura hingga zaman Edo. Shogun adalah juga pejabatTōryō (kepala klan
samurai) yang didapatkannya berdasarkan garis keturunan.
Pejabat shogun diangkat dengan perintah kaisar,
dan dalam praktiknya berperan sebagai kepala pemerintahan/penguasa Jepang.
Negara asing mengganggap shogun sebagai “raja Jepang”, namun secara resmi
shogun diperintah dari istana kaisar, dan bukan penguasa yang sesungguhnya.
Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Kaisar Jepang.
Sejarah
Zaman Nara dan zaman Heian
Kata “Sei-i” dalam Sei-i Taishōgun berarti
penaklukan suku Emishi yang tinggal di wilayah timur Jepang. Suku Emishi
dinyatakan sebagai orang barbar oleh orang Jepang zaman dulu. Sei-i Taishōgun
memimpin pasukan penyerang dari arah pesisir Samudra Pasifik, dan di bawah
komandonya terdapat Seiteki Taishōgun yang memimpin pasukan penyerang dari arah
pesisir Laut Jepang. Selain itu dikenal Seisei Taishōgun yang memimpin pasukan
penakluk wilayah Kyushu di bagian barat Jepang.
Dalam perkembangannya, istilah “Sei-i”
(penaklukan suku Emishi) diganti pada zaman Hōki menjadi “Sei-tō” (penaklukan
wilayah Timur). Namun istilah “penaklukan suku Emishi” (Sei-i) kembali
digunakan sejak tahun 793. Istilah “Sei-i Shōgun” (jenderal penaklukan suku
Emishi) mulai dipakai dalam dokumen resmi sejak tahun 720 (Yōrō tahun 4 bulan 9
hari 29) ketika Tajihi Agatamori diangkat sebagai Sei-i Shōgun. Istilah “Sei-tō
Shōgun” (jenderal penaklukan wilayah timur) mulai dipakai sejak tahun 788
seperti catatan sejarah yang ditulis Ki no Kosami (730-797) yang ikut serta
dalam ekspedisi ke wilayah timur.
Pada tahun 790, Ōtomo no Otomaro ditugaskan
sebagai Sei-tō Taishi (Duta Besar Penaklukan Wilayah Timur). Dua tahun
kemudian, nama jabatan tersebut diganti menjadi Sei-i Shi (征 夷 使?, Duta Penaklukan Wilayah Timur), atau bisa
juga disebut Sei-i Shōgun (Jenderal Penaklukan Wilayah Timur).
Sakanoue no Tamuramaro diangkat sebagai Sei-i
Taishōgun pada tahun 797 setelah sebelumnya menjabat Wakil Duta Penaklukan
Wilayah Timur sekaligus Wakil Duta Penaklukan Suku Emishi di bawah komando
Ōtomo no Otomaro. Pemimpin Emishi bernama Aterei yang bertempur pantang
menyerah akhirnya berhasil ditangkap oleh Tamuramaro dan dibawa ke ibu kota,
sedangkan selebihnya berhasil ditaklukkan. Pada praktiknya, Sakanoue no
Tamuramaro adalah Sei-i Taishōgun yang pertama atas jasanya menaklukkan suku
Emishi.
Selanjutnya dalam rangka peperangan melawan
Emishi, Funya no Watamaro diangkat sebagai Sei-i Shogun (Jenderal Penaklukan
Suku Emishi) pada tahun 811. Perang dinyatakan berakhir pada tahun yang sama,
dan wakil shogun bernama Mononobe no Taritsugu naik pangkat sebagai Chinju
Shōgun. Istilah “chinjufu” berarti pangkalan militer yang terletak di Provinsi
Mutsu. Setelah itu, jabatan Sei-i Shōgun kembali dipulihkan sejak tahun 814.
Zaman Kamakura
Minamoto no Yoritomo memulai karier militer sebagaiTōryō
(kepala klan Minamoto) di wilayah Kanto. Jabatan kepala klan bukan merupakan
jabatan resmi di bawah sistem hukum Ritsuryō, dan kedudukan Yoritomo tidak jauh
berbeda dengan Taira no Masakado atau pemimpin pemberontak lain di daerah.
Pada tahun 1190, Yoritomo diangkat sebagai
jenderal pengawal kaisar (Ukone no Taishō) yang merupakan posisi resmi dalam
pemerintahan. Jabatan sebagai jenderal pengawal kaisar mengharuskannya tinggal
di ibu kota Kyoto. Jabatan ini tidak sesuai bagi Yoritomo yang berambisi
menguasai secara total wilayah Kanto. Yoritomo mengundurkan diri dari jabatan
jenderal pengawal kaisar, namun tetap mempertahankan hak istimewa sebagai
mantan jenderal tertinggi (Sakino-u Taishō).
Setelah mantan Kaisar Go-Shirakawa mangkat,
Minamoto Yoritomo diangkat sebagai Sei-i Taishōgun pada tanggal 21 Agustus
1192. Pemerintahan militer yang didirikan Yoritomo di Kamakura dikenal sebagai
Keshogunan Kamakura.
5. BAJU
TRADISIONAL JEPANG
a. Kimono
Kimono (着 物 ) adalahpakaian tradisionalJepang. Arti
harfiah kimono adalahbaju atau sesuatu yang
dikenakan (ki
berartipaka i, danmono berartibarang).
Pada zaman
sekarang, kimono berbentuk seperti huruf “T”, miripmantel berlengan panjang dan
berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan
kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk
setelan. Kerah bagiankanan harus berada di bawah kerah bagiankiri. Sabuk kain
yang disebutob i dililitkan di bagianperut/pinggang, dan diikat di
bagianpunggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalahzōri ataugeta.Kimono
sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita
yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode.[1] Ciri
khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan
yang genap berusia 20 tahun mengenakanfurisod e untuk menghadiri seijin shiki.
Pria mengenakan
kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya.
Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan
kimono.[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-
Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan
pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai
penginapan tradisional (ryokan).
Pakaian
pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri darifurisod e
danuch ikake (mantel yang dikenakan di atasfurisode).Furisode untuk pengantin
wanita berbeda darifurisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan
untukfurisod e pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan,
seperti gambar burung jenjang. Warnafurisod e pengantin juga lebih cerah
dibandingkanfurisode biasa.Shiro muku adalah sebutan untuk baju pengantin
wanita tradisional berupafurisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan
yang juga berwarna putih.
Sebagai pembeda
dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang Jepang
menyebut pakaian tradisional Jepang sebagaiwafuku (和 服 , pakaian Jepang). Sebelum dikenalnya
pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut kimono. Sebutan
lain untuk kimono adalahgofuku (呉 服 ). Istilahgofuku mulanya dipakai untuk
menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di
Jepang dari daratan Cina.
b.
Kimono wanita
Terselubung yang dikandung masing-masing jenis
kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan
warna, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis
kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan
tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.
Kurotomesode
Tomesode adalah kimono paling formal untuk
wanita yang sudah menikah. Bila berwarna hitam, kimono jenis ini disebut kurotomesode
(arti harfiah: tomesode hitam). Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon)
di tiga tempat: 1 di punggung, 2 di dada bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian
belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode adalah motif indah
padasuso (bagian bawah sekitar kaki) depan dan belakang. Kurotomesode dipakai
untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.
Irotomesode
Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut
irotomesode (arti harfiah: tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat
formalitas acara, pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain
kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal.
Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono
jenis irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu
untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya
seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.
Furisode
Furisode adalah kimono paling formal untuk
wanita muda yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif
mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang
sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri
upacara seijin shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda,
atauhatsu mode. Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ishō termasuk
salah satu jenis furisode.
c.
Homongi
Hōmon-gi (訪 問 着 , arti harfiah: baju untuk berkunjung)
adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya
bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak.
Ciri khas homongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang.
Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara minum teh,
atau merayakan tahun baru.
d.
Iromuji
Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa
dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga
(kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa
terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada).
Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah
jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan
lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan.
Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang
keluarga.
e.
Tsukesage
Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita
yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan
tsukesage hanya setingkat dibawah homongi. Kimono jenis ini tidak memiliki
lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang
tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.
f.
Komon
Komon adalah kimono santai untuk wanita yang
sudah atau belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan
berukuran kecil- kecil yang berulang.[3] Komon dikenakan untuk menghadiri pesta
reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di
gedung.
g.
Tsumugi
Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan
sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun
demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika
berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan
sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan
kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di
ladang.
h.
Yukata
Yukata (浴衣, baju sesudah mandi) adalah jeniskimono yang
dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis. Dibuat dari kain yang mudah
dilewati angin, yukata dipakai agar badan menjadi sejuk di sore hari atau
sesudahmandi malam berendam dengan air panas.
Menurut urutan tingkat formalitas, yukata
adalah kimono nonformal yang dipakaipria dan wanita pada kesempatan santai di
musim panas, misalnya sewaktu melihat pesta kembang api, matsuri (ennichi),
atau menari pada perayaanobon. Yukata dapat dipakai siapa saja tanpa mengenal
status, wanita sudah menikah atau belum menikah.
Gerakan dasar yang harus dikuasai dalam nihon
buyo selalu berkaitan dengan kimono. Ketika berlatih tari, penari mengenakan
yukata sebagai pengganti kimono agar kimono berharga mahal tidak rusak karena
keringat. Aktorkabuk i mengenakan yukata ketika berdandan atau memerankan tokoh
yang memakai yukata. Pegulatsumo memakai yukata sebelum dan sesudah bertanding.
Musim panas berarti musim pesta kembang api dan
matsuri di Jepang. Jika terlihat orang memakai yukata, berarti tidak jauh dari
tempat itu ada matsuri atau pesta kembang api.
Cara memakai
Hotel atauryokan di Jepang menyediakan yukata
untuk dipakai tamu sebagai pakaian tidur. Sebagai pakaian tidur, yukata bisa
dikenakan begitu saja tanpa mengenakan pakaian dalam. Ketika dipakai pria untuk
keluar rumah, yukata biasanya dikenakan tanpa kaus dalam, dan cukup memakai
celana dalam atau celana pendek. Berbeda dengan kimono yang dikenakan dengan
dua lapis pakaian dalam (hadajuban danju ban), sewaktu mengenakan yukata,
wanita hanya perluhada juban (pakaian dalam lapis pertama). Alas kaki sewaktu
memakai yukata adalah geta.
Yukata dikencangkan ke tubuh pemakai dengan obi
yang lebarnya setengah dari lebar obi untuk kimono jenis lain. Di antara
berbagai jenis simpul obi untuk yukata, bentuk simpul yang paling populer
adalah simpulbunko yang berbentuk kupu-kupu. Bila tidak bisa membuat simpul,
toko kimono menjual simpul obi yang sudah jadi dan tinggal disisipkan pada obi.
Wanita mengenakan yukata yang pas dengan ukuran
tubuh pemakai agar terlihat bagus sewaktu dipakai. Seperti halnya kimono,
panjang yukata selalu melebihi tinggi badan pemakai. Perlengkapan memakai
yukata wanita:
• rok panjang (susoyoke) sebagai pakaian dalam,
berwarna putih polos.
• pakaian dalam (hadajuban)
• tali pinggang (koshihimo) untuk mengencangkan
kain berlebih di bagian pinggang yang berasal dari kelebihan panjang kain pada
bagian bawah
• kain sabuk pengikat (datejime) untuk
mengencangkan kain yang longgar di bagian perut
• Obi untuk mengencangkan yukata ke badan
d. Kimono
pria
Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap
seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.
• Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam
dengan hakama dan haori.
Bagian punggungmontsuki dihiasi lambang
keluarga pemakai. Setelan montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori
merupakan busana pengantin pria tradisional. Setelan ini hanya dikenakan
sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan
dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.
• Kimono santai ki nagashi
Pria mengenakankinagashi sebagai pakaian
sehari-hari atau ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki
mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang
keluarga.